Opini – Pilkada yang serentak dilakukan Juni 2018 mendatang menjadi pesta demokrasi yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Setiap daerah tentunya sudah memiliki calon Kepala Daerah nya masung-masing. Saat ini mungkin sudah banyak sekali calon-calon Kepala Daerah yang mulai melakukan kampanye dan berbagi visi misi kepemerintahan yang akan dilakukan demi menarik simpati masyarakat. Dan tak hanya itu saja, masing-masing Calon Kepala Daerah pun juga perlu menyiapkan mental untuk menghadapi hasil dari Pilkada yang akan datang. Baik itu menang maupun kalah, masing-masing perlu untuk menyiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sehingga penting rasanya untuk mengikrarkan diri agar bisa berkompetisi dalam pilkada secara adil dan siap dengan kekalahan dan kemenangan.
Dengan menyiapkan diri untuk menang dan kalah menghadapi hasil pilkada mendatang menjadi suatu bukti jika arti demokrasi sudah meresap dan dipahami hingga ke dalam jiwa. Tentunya semangat semacam ini harus dijadikan contoh dan dilakukan oleh siapa saja. Tidak hanya untuk kandidat politik, namun juga bagi para pendukungnya. Mengapa? Jika tidak bisa jadi akan menyebakan terjadi kekisruhan pasca hasil pilkada diumumkan.
Hal semacam ini bisa disaksikan sendiri dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi di Indonesia. Banyak sekali kekisruhan pasca piladan diakibatkan belum siapnya mental dari para kandidat serta pendukung untuk memasuki dunia demokrasi serta mengikuit segala aturan yang berlaku di dalamnya. Misalnya saja, kasus yang terjadi di Kapubaten Tolikara pada tahun 2012 yang membuat banyaknya berjatuhan korban jiwa. Dan tak hanya itu saja, kasus serupa juga pernah terjadi di Kabupaten Puncak, Papua di tahun 2012 yang membuat banyaknya korban masyarakat yang tidak terhitung jumlahnya. Kasus-kasus seperti ini kebanyakan disebabkan karena belum siapnya mental dari kedua belah pihak untuk menang maupun kalah.
Kasus-kasus tersebut sebenarnya layak dijadikan pelajaran bagi setiap masyarakat Indonesia untuk mengetahui jika ikrar terkait menang dan kalah di dalam Pilkada adalah hal yang tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Sebab dampaknya bisa sangat terasa sekali dengan adanya korban harta benda hingga jiwa. Perlu ditanamkan dalam pikiran masing-masing untuk mengetahui apa arti demokrasi sesungguhnya. Demokrasi adalah ruang kebebasan namun juga disertai dengan tanggung jawab.
Jika dilihat dari sisi psikologis, kondisi-kondisi seperti ini dikenal dalam teori atribusi. Melihat kecenderungan seseorang dalam menghadapi kemenangan atau kekalahan. Menurut teori tersebut. Seseorang maupun kelompok yang mendapatkan kemenangan cenderung untuk melakukan atribusi internal yaitu upaya untuk merasionalisasikan kemenangan yang dicapainya atas dasar usaha serta kemampuannya sendiri. Mereka yang menang rata-rata merasa jika dirinya lebih baik dari lawannya. Sedangkan bagi pihak yang kalah, cenderung untuk mencari-cari faktor yang menyebabkan kekalahan yang didapatkannya. Faktor-faktor tersebut memang mungkin saja ada, namun bukan berarti hanya sekedar diada-adakan saja untuk membenarkan.
Kecenderungan seperti ini lah yang masih saja terjadi di kompetisi politik di Indonesia. Tak heran jika kasus-kasus kekisruhan pasca pilkada masih banyak saja terjadi. Kalah dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, merendahkan, dan sejenisnya. Sedangkan kemenangan menjadi sebuah kepuasan, puncak kejayaan, dan euforia. Hal ini yang kemudian menyebabkan semua orang menjadi berlomba untuk bisa meraih kemenangan dan merasa kurang siap jika harus kalah.
Sehingga arti kompetisi sendiri harusnya dipahami bukan dalah konteks memperebutkan kemenangan namun untuk melakukan segala seuatu yang terbaik. Sehingga tidak ada anggapan siapa yang lebih unggul dan siapa yang lebih baik dari lainnya. dengan menerapkan budaya seperti itu, maka kekalahan bukanlah hal yang sulit untuk diterima dan tidak selalu dibandingkan dengan kemenangan.
Untuk mencegah terjadinya konflik-konflik pasca pilkada tak hanya menjadi peran bagi kepolisian saja. Namun juga menjadi peran utama bagi calon-calon Kepala Daerah. Bagi pasangan calon kepala daerah diharapkan untuk memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri serta pendukungnya agar jangan sampai memicu hal yang dapat menyulut emosi dari pihak lawan. Calon Kepala daerah diharapkan mampu mengontrol serta meminta dukungan dengan cara-cara yang tepat dan baik. Calon kepala daerah menjadi sosok panutan bagi pendukungnya Sehingga penting bagi setiap calon kepala Daerah untuk mengatur sikap serta ucapannnya sendiri. Jika calon kepala daerah tidak bisa memberikan contoh yang baik untuk pendukungnya sendiri, maka bukan tidak mungkin jika hal tersebut akan terus diikuit bahkan pasca pilkada sekalipun. Contoh kasus-kasus seperti tersebut banyak sekali terjadi di Indonesia. Di beberapa daerah banyak ditemukan konflik yang masih saja berlanjut meskipun pilkada telah usai. Dan hal ini tentu saja akan menganggu kehidupan bermasyarakat serta meruntuhkan kedewassan dalam berpolitik yang mungkin sudah dibangun sedari dulu.
Penting bagi setiap calon Kepala daerah yang sedang mengikuti pesta demokrasi untuk mengingat segala janji yang telah diikrarkan pada diri sendiri sebelum akan mencalonkan menjaid Kepala Daerah. Janji untuk bisa siap menerima segala hasil yang akan terjadi, baik itu menang ataupun kalah. Kalah dan menang adalah hal yang biasa dalam setiap kompetisi, termasuk dalam pilkada. Karena itu, baik menang maupun kalah harus disikapi dengan kewajaran.
Untuk pihak yang memenangkan pilkada, menjadi tantangan tersendiri untuk menyikap pihak yang mengalami kekalahan. Kemenangan tidak selalu harus dikaitkan dengan pesta pora, euphoria, bahkan merendahkan pihak yang mengalami kekalahan. Justru tidak ada salahnya untuk melibatkan pihak yang mengalami kekalahan untuk masuk ke dalam kelompoknya. Sehingga kemenangan bukan hanya menjadi kemenangan pribadi namun menjadi kemenangan bersama. Bahkan pihak yang kalah juga bisa merasa dimenangkan. Hal ini lah yang dinamakan sebagai ketidaksombongan. Sedangkan bagi pihak yang kalah harus menjadikan sebuah kekalahan sebagai sebuah dorongan agar bekerja lebih keras lagi kedepannya. Siapapun pastinya akan merasa kecewa saat menerima kekalahan namun jati diri pemenang yang sesungguhnya adalah dewasa dalam menerima kekalahan. Apa yang sudah menjadi ikrar diharapkan tidak hanya menjadi sebuah wacana saja, namun harus dibuktikkan dalam bentuk tindakan yang nantinya bisa ditiru oleh pendukung ataupun relawan masing-masing calon Kepala Daerah.
Pilkada bukanlah sebuah tempat untuk mengadu nasib serta peruntungan, namun untuk menyeleksi pemimpin yang benar-benar berintegritas. Dengan begitu semua masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya akan berpikir santun dan positif. Pilkada serentak yang akan dilakukan mendatang tentunya benar-benar harus dikawal bersama sehingga baik proses maupun hasilnya memang memiliki kualitas yang terbaik. Meskipun tidak semua proses serta hasil bisa memuaskan semua pihak, namun marilah untuk menghindari sikap-sikap odsolut pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Pilkada bukan segalanya, hanya sebuah proses di dalam kehidupan demokrasi yang ada di Indonesia yang harus dinikmati dan dirayakan setiap masyarakat Indonesia. Sehingga nantinya diharapkan tidak ada lagi kasu-kasus serupa pasca pilkada yang dapat merugikan banyak pihak dan kehidupan demokrasi di Indonesia bisa berlangsung dengan damai.
Oleh : Sulaiman Rahmat
Penulis adalah Mahasiswa Lancang Kuning Pekanbaru