Opini – Kepakkan sayapmu lalu terbanglah, katanya Orang-orang memandang ke tubuhnya yang dibalut kopo ulen-ulen, kain adat Gayo Orang-orang juga memandang senyumnya yang tulus
Hari ini ku resmikan Bandara Rembele, katanya
Itulah tanda cinta pada kampung kedua Orang-orang rindu pada ucapan itu karena telah lama terasa dipinggirkan, bahkan diabaikan Buka mata dan layangkan pandang ke tempat paling jauh ke wilayah tak tersentuh Di sana kita bertemu, memadu cinta untuk negeri tercinta
Dua bait puisi ini dibacakan penyair Lesik Keti Ara dari Aceh, sebagai pertanda gembira atas pengembangan Bandara Takengon Rembele di Gampong Bale Atu, Kabupaten Bener Meriah, hampir 300 kilometer dari Kota Banda Aceh. Pengembangan bandara itu saya resmikan pada 2 Maret 2016 lalu.
LK Ara membacakannya saat bersama sekitar 30 budayawan Tanah Air berdialog dengan saya di halaman belakang Istana Merdeka, Jakarta, kemarin. Di antara yang hadir ada Radhar Panca Dahana, Butet Kertaradjasa, Toety Herati N. Rooseno, Mohammad Sobary dan pelukis Nasirun.
Kepada para budayawan ini saya menyampaikan pentingnya upaya pelestarian seni budaya Tanah Air sebagai investasi sumber daya manusia di masa mendatang. Kebudayaan menjadi fondasi sebuah bangsa yang ikut menentukan daya saing dan kompetisi yang dimiliki sebuah negara. (**)