PORTALINDO.CO.ID, Jakarta- Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menggelar webinar bertajuk “Pro Kontrak Penjabat Kepala Daerah dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan”, Sabtu (4/6/2022). Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soni Sumarsono; Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) /Pendiri Institut Otonomi Daerah (i-Otda) Djohermansyah Djohan; dan Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.
Dalam sambutan pembukaannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, pro kontra yang terjadi dalam pengangkatan penjabat (Pj.) kepala daerah (KDH) menunjukkan derajat demokrasi. Penunjukan Pj. KDH dinilai mengganggu perspektif demokrasi karena tidak melibatkan daerah. Bahkan ada usulan gubernur yang tidak diakomodir oleh pemerintah pusat. Ada juga yang memutuskan untuk mundur setelah dilantik.
“Ini semua harus diperhitungkan oleh pemerintah ya. Belum lagi dalam konteks manajemen pemerintahan. Kalau pertanyaannya adalah kedaruratan, darurat dalam konteks dua tahun itu seperti apa? Ini bukan darurat lagi, ini bisa menciptakan suatu proses pemerintahan yang kurang sehat,” katanya.
Mantan Dirjen Otda Kemendagri Soni Sumarsono menjelaskan, dalam perspektif ilmu pemerintahan sedetik pun tidak boleh ada jabatan kepala daerah yang kosong. Kekosongan itu harus diisi untuk memastikan seluruh fungsi penyelenggaraan pemerintahan berjalan. Selanjutnya, dalam hal kebutuhan yang mendesak tersebut, kebijakan harus diambil untuk mencapai tujuan strategis berdasarkan koridor peraturan yang ada.
“Kewenangan yang melekat pada KDH, akan melekat dalam diri Pj. KDH sepenuhnya. Terkecuali hal-hal tertentu yang karena sifatnya strategis, harus dikendalikan pusat melalui persetujuan Mendagri,” jelasnya.
Dia menambahkan, penunjukan Pj. KDH merupakan operasionalisasi konsep delegasi (political appointed) kekuasaan presiden dan bukan konsep pemilihan (political elected) sebagaimana kepala daerah. Sejauh persyaratan administrasi sebagai Pj. terpenuhi, dinilai memiliki kompetensi, dan disetujui presiden maka secara normatif sah. Konstruksi pola kekuasaan penunjukan Pj. KDH ini sesuai regulasi bersifat sentralistik. Konsekuensi logisnya, pertanggungjawabannya vertikal Pj. KDH kepada Presiden/Mendagri, bukan kepada rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
Melengkapi penjelasan Soni Sumarsono, Guru Besar IPDN dan Pendiri i-Otda Djohermansyah Djohan membeberkan perbedaan teoritik antara kepala daerah yang ditunjuk (appointed) dan mereka yang dipilih melalui pemilihan umum (elected executive). Pj. yang ditunjuk di antaranya dicirikan dengan legitimasi rendah, relasi dengan rakyat lemah karena bukan pilihan rakyat, menjalankan kewenangan relatif terbatas, karier berbasis pada meritrokasi/prestasi, memiliki pengetahuan daerah dan masa jabatan yang terbatas, hingga rawan intervensi kekuasaan.
Sementara itu, mereka yang dipilih langsung lewat jalur pemilihan umum (elected) dicirikan dengan legitimasi tinggi, relasi dengan rakyat kuat, menjalankan kewenangan penuh, berkarier berbasis popularitas dan akseptabilitas, maja jabatan lama, dan “orang” daerah menguasi penuh lokalitas.
“Kekosongan penjabat ini lebih karena tidak ada lagi kepala daerahnya di sana. Sehingga oleh sebab itu, regulasi yang ada itu enggak cukup mampu menampung keadaan baru, not sufficient enough. Karena itu perlu ada terobosan hukum, aturan-aturan baru,” ujarnya.
Di sisi lain, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI Siti Zuhro menyampaikan, terkait pemilihan Pj. KDH ada resistensi dari pemerintah, ada juga tuntutan dari masyarakat akademis bahkan aktivis. Mereka semua menyampaikan pendapatnya baik dari pakar hukum, pemerintahan, dan lain sebagainya. Bahkan, banyak pula yang mengkritisi kebijakan penunjukan Pj. KDH ini.
“Politiknya itu yang kental, kekuasaan dan sudah diajarkan sejak 2005 itu, bahwa untuk menjadi kepala daerah itu melalui Pilkada langsung. Ternyata enggak, enggak mudah mengikuti Pilkada langsung itu, luar biasa. Harus punya persiapan mental persiapan substansi, persoalan uang, dan sebagainya,” jelas dia.
Menurut Siti Zuhro, hal itulah yang harus diantisipasi secara seksama sebagaimana peraturan dan hukum yang berlaku.
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. (***)