Sejarah Islam Di Sulawesi Selatan:”3 Datuk Penyebar Islam Di Sulawesi Selatan”

Umum1506 Dilihat

Foto Ilustrasi.(Umar Dany Media Portalindo.co.id)

Sulawesi Selatan , Portalindo.co.id – Menilik jejak sejarah Islam di Sulawesi Selatan, akan selalu diidentikkan dengan kedatangan tiga mubaligh dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.

Kedatangan mereka pada abad ke-17 M. Islam masuk ke Sulawesi Selatan sebenarnya sudah ada sejak abad ke- 16 M, namun penyebarannya belum begitu massif.

Foto Ilustrasi oleh Umar Dany Media Portalindo.co.id

Kebanyakan sejarawan mencatat bahwa ketiga datuk itulah pembawa ajaran Islam pertama kali di tanah Sulawesi – Selatan. Nama mereka tercatat sebagai tokoh utama dalam penyebaran agama Islam. Namun, beberapa catatan dan tinggalan arkeologis menyebutkan adanya penyebaran Islam jauh sebelum ketiga Datuk itu. Adalah Sayyid Jamaluddin al- Akbar al-Husaini yang tiba dan menyebarkan Islam di Wajo pada tahun 1320, tiga abad sebelum kedatangan Datuk Tellue’.

Menurut pakar sejarah Islam Sulsel, Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.

Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.

Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).

Tiga ulama ini begitu sampai di Sulawesi tidak langsung berdakwah, akan tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka mendapat keterangan bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa.

Setelah mendapat informasi dan keterangan yang cukup, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Mereka akhirnya berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1605. Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam menjadi Sultan Muhammad Mahyuddin, sedangkan Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka diberi nama Sultan Abdullah Awalul Islam.


Foto Ilustrasi Oleh Umar Dany Media Portalindo.co.id.

Setelah berhasil mengislamkan Datuk Luwu dan Raja Tallo, ketiga ulama ini kemudian menyebar dan membagi wilayah sasaran dakwah berdasarkan kondisi dan keahlian mereka. Abu Hamid mengemukakan dalam “Sistem Nilai Islam dalam Budaya Bugis – Makassar” sebagai berikut:

Datuk ri Bandang atau Khatib Tunggal yang ahli dalam ilmu fikih bertugas di Kerajaan Gowa – Tallo. Masyarakat yang dihadapi di kerajaan ini masih memegang kuat tradisi lama seperti perjudian, minum ballo’, dan sabung ayam. Untuk mengislamkan mereka, metode dakwah yang digunakan adalah dengan penegakan hukum syariat.

Datuk Patimang atau Khatib Sulung yang ahli tauhid bertugas di Kerajaan Luwu, karena kondisi masyarakatnya masih berpegang teguh pada kepercayaan nenek moyang mereka yang menyembah Dewata Seuwae. Datuk Patimang mengajarkan tauhid sederhana seperti sifat – sifat tuhan. Penekanan tauhid ini untuk menggantikan Dewata Seuwae dengan konsep keimananan pada Allah Yang Maha Esa.

Datuk ri Tiro atau Khatib Bungsu yang ahli tasawuf bertugas di Bonto Tiro karena masyarakat di daerah tersebut masih memegang teguh ajaran – ajaran kebatinan dan sihir. Masyarakat di Bonto Tiro terkenal sering menggunakan ilmu sihir atau kekuatan sakti (doti) untuk membinasakan musuh. Mereka percaya bisa mengislamkan masyarakat seperti itu dengan ilmu tasawuf.

Ketiga Datuk ini menyebarkan Islam hingga menutup usia dan dimakamkan di wilayah tugas mereka masing – masing. Datuk ri Bandang wafat dan dimakamkan di wilayah Tallo. Makam Datuk ri Bandang kini berada di Jl. Sinassara, Tallo, Makassar. Khatib Sulung kemudian meneruskan syiar Islam ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan beberapa kerajaan yang belum memeluk Islam. Khatib Sulung wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu, karena itulah ia bergelar Datu Patimang.

Sementara Datuk ri Tiro wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bonto Tiro. Makam Datu ri Tiro bisa dijumpai di Kelurahan Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba. Untuk menghormati Datu ri Tiro, Pemerintah Kab. Bulukumba kemudian menamai Islamic Center yang baru dibangun dengan nama Islamic Center Datu Tiro.

Umar Dany

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *