Pasca Tenggelamnya Kapal di Danau Toba Pekan Lalu, Kepala BPODT Haruskah Mundur?

Umum386 Dilihat

Oleh: Emrus Sihombing
Ketika beberapa media massa online memuat pandangan saya, pasca tenggelamnya kapal di Danau Toba, bahwa Kepala BPODT sejatinya mundur dan mengganti semua pejabat di badan itu, banyak kalangan mengapresiasi lewat HP saya, namun hanya dua orang melalui salah satu group WA yang saya ikuti  mempersoalkan bahwa itu bukan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) BPODT.
Suka tidak suka harus diakui, terjadinya peristiwa yang memilukan, tenggelamnya kapal di kawasan Danau Toba satu pekan lalu, sekaligus menunjukkan lemahnya kepemiminan, manajemen, koordinasi, dan komunikasi di BPODT.
Media massa dalam dan luar negeri meliput dengan menyajikan dalam bentuk narasi, audio dan video bahwa korban berteriak minta tolong. “Tolong-tolong!”,  itulah jeritan para korban berulang-ulang, sambil berusaha berenang apa adanya tanpa alat pelampung untuk menyelamatkan diri. 
Melalui berbagai media, dunia menyaksikan ratusan korban dari
tenggelamnya kapal tersebut. Oleh karena itu, pasti berdampak buruk terhadap peningkatan jumlah wisatawan domestik maupun manca negara yang berkunjung ke Danau Toba. Artinya, upaya dan biaya promosi wisata yang selama ini digunakan oleh BPODT terancam menjadi sia-sia.
Sebab, membangun citra baru lebih mudah dan biaya lebih murah dibanding memperbaiki citra yang sudah rusak. Peristiwa tenggelamnya kapal tersebut pasti menimbulkan citra sangat buruk terhadap pengelolaan wisata di Danau Toba.
Bila kita mundur kebelakang, sebuah pertanyaan kritis, apakah BPODT telah berkoordinasi dengan baik kepada  semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan Danau Toba? Berkaca pada peristiwa tenggelamnya kapal satu pekan lalu, tampaknya belum maksimal, atau bisa jadi mendekati gagal. Setidaknya dengan pengelola transportasi di Danau Toba yang tidak beres itu telah menelan korban banyak.
Untuk itu, berbagai kalangan meminta Kepala BPODT membuka semua rencana program, kinerjanya dan penggunaan dana APBN kepada publik secara terang benderang untuk melihat dimana simpul permasalahannya. Lebih cepat lebih baik, sebaiknya tidak lewat dalam kurun waktu dua pekan ke depan.
Saat ini momentum yang  paling pas untuk melakukan diskusi terbuka (diskusi publik)  dengan nara sumber Kepala dan para pejabat BPODT, tokoh masyarakat serta pengamat. Diskusi ini diliput oleh media masa secara live agar semua pemangku kepentingan di republik ini mengetahui dan sekaligus sebagai pencerahan kepada masyarakat tentang BPODT. Diskusi ini memaparkan  antara lain struktur organisasi, kinerja dan postur penggajian. Dan yang terpenting “membongkar” bagaimana transparansi penggunaan dana APBN di badan tersebut.
Sebab, BPODT sebagai pengguna APBN, berarti juga memakai uang pajak dari para korban tenggelamnya kapal di Danau Toba pekan kemarin.
Sebagai pemimpin yang transparan, Kepala BPODT harus memaparkan penggunaan APBN oleh BPODT di ruang publik.
Selain itu, sebagai pimpinan, Kepala BPODT, tidak boleh hanya berlindung di balik TUPOKSI. Jika berlindung pada TUPOKSI, itulah yg disebut pemimpin mekanistis atau linear. Bahasa sehari-hari mengenakan “kaca mata kuda”.
Pengelolaan Danau Toba, sebagai salah satu destinasi wisata manca negara dan domestik, pemimpin tidak boleh hanya berpikir dan bertindak linear, atau berbasis hanya pada TUPOKSI, tetapi harus terintegrasi, terkoordinasi dan senantiasa melakukan komunikasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, pimpinan BPODT tidak cukup hanya memiliki kemampuan manajemen yang mekanistis itu (TUPOKSI), tetapi lebih daripada itu, mutlak memiliki leadership yang lebih paripurna.
Jika ada sementra kalangan yang menyajikan daftar data bahwa peristiwa tenggelamnya kapal di Danau Toba sudah pernah terjadi sebelum adanya BPODT, maka peristiwa tenggelamnya kapal satu pekan lalu sekaligus bermakna bahwa tidak ada manfaat BPODT terhadap keselamatan pelayaran di Danau Toba.
Dengan kata lain, daftar tersebut juga dapat dimaknai bahwa tidak ada perbedaan kejadian tenggelamnya kapal di Danau Toba dengan ada atau tidak adanya BPODT.
Sejatinya, dengan adanya BPODT disertai kepemimpinan yg mumpuni, kejadian tenggelamnya kapal di Danau Toba satu pekan lalu tidak perlu terjadi.
KEPALA BPODT HARUS TIPIS TELINGA
Sebagai pemimpin, Kepala BPODT harus “tipis telinga”. Bila Kepala BPODT seorang pemimpin sejati, ia adalah orang yang “tipis telinga”, yaitu pemimpin yang mendengar, menyimak dan bertindak atas dasar  kepentingan dan  keselamatan publik yang dilayani. 
Sampai saat ini saya belum tahu, apakah Kepala BPODT termasuk orang yang “tipis telinga” atau sebaliknya.
Kita lihat saja, bagaimana dia merespon kejadian tenggelamnya kapal satu pekan lalu di Danau Toba, apakah membela diri dengan berlindung pada TUPOKSI. Atau “menjemput bola” mendengar berbagai kritikan, masukan dan melakukan koordinasi serta komunikasi dengan semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan Danau Toba yang lebih baik dalam batasan kurun waktu terukur secara kuantitatif.
Kita tunggu saja dua atau tinga minggu setelah kejadian tenggelamnya kapal di Danau Toba satu pekan lalu.  Apa tindakan Kepala BPODT sebagai wujud tanggungjawab terhadap tenggelamnya kapal tersebut. Apakah melakukan langkah-langkah revolusi mental di tubuh BPODT untuk perbaikan luar biasa atau ada pilihan lain sebagai wujud tanggung jawab. Publik menanti.
Direktur Eksekutif
Lembaga EmrusCorner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *