JAKARTA — Wakil Ketua DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono menyoal masuknya tenaga kerja asing (TKA) asal China ke Indonesia. Dia menyebut Presiden Joko Widodo tak memahami kepentingan nasional, yaitu melindungi market tenaga kerja Indonesia (TKI).
“Perpres 20/2018 adalah bentuk kapitalisme negara, menunjukkan tidak pahamnya Jokowi mengutamakan kepentingan nasional. Yakni melindungi pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya menjadi market TKI itu tidak diberikan kepada tenaga kerja dari luar negeri” ujar Ferry, saat diskusi publik di kantor Indonesia Law Enforcement Watch (ILEW) di bilangan Jalan Veteran 1, Gambir, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Ferry menduga, TKA yang datang dari China ini bisa jadi residivis. Tertangkapnya dua TKA di Bandara Halim Perdanakusama tanpa identitas, misalnya, menjelaskan bagaimana TKA dari China mempunyai motif politik atau motif tertentu.
“Mereka dalam rangka untuk proyek pembagunan, tapi tanpa identitas. Ketika menjadi viral, pemerintah buru-buru bilang mereka akan dideportasi. Jadi, pemerintah ini sebenarnya sadar mereka dijadikan kaki tangan, kepanjangan kapitalis negara Tiongkok,” imbuh Ferry, saat diskusi bertajuk Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA) dan Jeritan Kaum Buruh ini.
Menurut Ferry, pernyataan resmi Menteri Tenaga Kerja, Kepala Staf Kepresidenan, pernyataan Presdien sekaligus mengiyakan, bahwa mereka bagian yang tidak terpisahkan dalam memberikan kemudahan lapangan pada kapitalisme Tiongkok.
“Mereka bilang tenaga kerja Indonesia juga ada di Arab, Jepang, Korea. Tapi, mereka lupa, Arab, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan, memang membutuhkan tenaga kerja informal dan membuat surat permintaan kepada pemerintah Indonesia. Ada permintaan resminya, dan banyak sebagian warga Indonesia menjadi TKI di negara penempatan itu,” ujarnya.
Ferry pun mempertanyakan, di Indonesia sejak kapan kekurangan dan punya kebutuhan tenaga kerja buruh kasar? Kapan Indonesia membuat surat, bahwa Indonesia butuh tenaga unskill?”.
Dalam pandangan Ferry, situasi yang terjadi di Indonesia ini tidak lepas dari kapitalisme negara yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok kepada Indonesia. Karena memang perjanjian-perjanjian multilateral seperti Masyarakat Ekonomi Asia, itu juga untuk survive dibandingkan dengan kepentingan bilateralnya.
“Pemerintah Tiongkok merasa berkepentingan. Di dalam negeri China juga ada persoalan pengangguran, karena pertumbuhan ekonomi China yang tadinya 2 digit sekarang turun ada sekitar 6 persen. Implikasinya, di China banyak pengangguran, dan mereka mencarikan jalan keluarnya supaya pengangguran di negeri China bisa dialihkan, dibuang ke negara yang mau,” sebutnya.
Dalam perjanjian bilateral seperti investasi Tiongkok kepada Indonesia, menurut Ferry, pemerintah China selalu mengikutsertakan bahwa setiap investasi di negara Indonesia akan melibatkan penggunaan tenaga kerja dari negara lain. Tidak dijelaskan apakah tenaga kerja yang dikirim dari China terdidik atau unskill.
“Itu tidak pernah dibuka. Pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah mengungkap klausul itu. Tapi faktanya, kita lihat dari mulai awal pemerintahan Jokowi berkuasa,” tukasnya.
Sekaitan itu, Ferry menegaskan dirinya dulu mengusulkan pada 2015 pernah menolak APBN. Alasannya, pertama tidak setuju ada penempatan warga negara yang dititipkan melalui tiga bank BUMN, BRI, BNI dan Bank Mandiri untuk membantu proyek-proyek atau pembiayaan di Indonesia.
“Di situ kita mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak kesulitan negara kepada negara lain. Kemudian kita masuk pada infrastruktur, apa yang terjadi dengan infrastuktur? Infrastruktur yang dibangun ini apa manfaatnnya bagi pemerintah, negara, TKI, jawabnya tidak ada,” tuturnya.
Data BPS menunjukkan, justru ketika infrastruktur giat dibangun di Indonesia, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja di bidang konstruksi. Seharusnya ketika membangun infrastruktur, penyerapan tenaga kerja Indonesia harusnya naik, ini malah turun. Inilah anomali pertama.
Kedua, Ferry melanjutkan, yang terlibat dalam kegiatan pembangunan infrastruktur itu hanya BUMN. Dan, ketiga bahwa penjajahan terjadi di infrastruktur. Jalan Panarukan-Anyer juga infrastruktur, tapi membangun jalan itu ketika di negeri dijajah supaya aset-aset bisa lebih cepat dibawa ke negeri penjajah
Maka, kata Ferry, pembangunan infrastruktur modelnya hampir mirip kompeni baru. Membangun pembangkit listrik pakai investasi dari China, pakai tenaganya dari China termasuk yang unskill, buruh kasar pembangkit ada di daerah yang sama. Kemudian juga investasi smelter, pengolahan bahan mineral pembangunan pakai duit China, dan tenaga kerja dari China.
Lalu, untuk menghubungkan bangunan pembangkit listrik ke smelter diperlukan infrastruktur dengan membangun jalan yang mengkolektifikan satu tempat pembangkit, bikin jalannya pakai duit APBN.
“Ini yang menikmati infrastruktur itulah jalannya, tapi kekayaannya jalan infrastruktur itu untuk siapa? Ternyata untuk mempercepat proses mengalirnya sumber daya barang/jasa ke negerinya, China. Itulah pengertian infrastruktur di dalam logika seperti itu,” kata Ferry.
Pertanyaannya kemudian, mengapa membangun infrastuktur, padahal duitnya cekak. Sementara, APBN sedang terbatas. Menurut Ferry, Gerindra sudah berkali ingatkan pemerintah, kalau mau membangun infrastruktur adalah infrastruktur yang menjadi prioritas. Tidak infrastruktur yang apalagi dikaitkan dengan pencitraan.
“Kita ingatkan ada keterbatasan anggaran, namun nekad, (pembangunan infrastruktur) jalan terus. Dan, akhirnya dievaluasi dan dihentikan,” sebutnya.
Infrastruktur di zaman Jokowi, menurut Ferry, adalah infrastruktur yang dipentingkan dibangun untuk memberi kemudahan para investor. Lalu, bagaimana mungkin seorang presiden tega mengeluarkan peraturan yang ketika pertumbuhan ekonomi negaranya dari tahun 2014 sampai sekarang tidak naik-naik, rata-rata 5 persen.
“Tidak seperti yang Jokowi bilang meroket itu,” ujar Ferry sembari menirukan ucapan dan gestur Jokowi yang begitu optimis atas pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meroket.
Ferry menjelaskan, kondisi saat ini daya beli masyarakat menurun, harga-harga naik, rupiah melemah sudah di angka Rp.14.800. “Situasi dalam negeri sedang tidak menguntungkan, kenapa Presiden Jokowi tidak mengerti dan ada keberpihakan kepada masyarakat, ketika situasi ekonomi masyarakatnya seperti itu?” tanyanya.
Menurut Ferry, angkatan kerja tiap tahun 2,6 juta. Tertampung di lapangan kerja formal sekira 1,1 juta. Ada sisa 1,5 juta setiap tahunnya yang menganggur. Dari beberapa tahun, jika diakumulasi ada puluhan juta orang tidak terserap lapangan pekerjaan. Belum lagi pengangguran setengah terbuka yang bekerja kurang dari 35 jam tiap minggu, sehari 7 jam yang normal. Sekarang orang banyak yang bekerja kurang dari 35 jam tiap minggu.
“Kita harus hormat kepada mereka yang kerja sebagai pengemudi transportasi online, meski kerja kurang dari 35 jam, mereka adalah rakyat yang sedang mencari jalan keluar sendiri, karena pemerintahnya tidak bisa menyediakan tempat untuk bekerja,” kata Ferry.
Pemerintah yang benar, kata Ferry, seharusnya menempatkan mereka bekerja di sektor formal, termasuk TKI yang nekat bekerja ke luar negeri untuk bekerja. “Kita pengangguran masih banyak, ekonomi lagi seperti ini kok presidennya memberi kemudahan bagi TKA. Untuk bisa izin tinggal sementara, mereka bisa masuk tanpa harus wajib berbahasa Indonesia,” sebutnya.
Menurut Ferry, ini membuka peluang keluar masuknya tenaga kerja asing makin banyak. Yang dipersoalkan adalah TKA yang unskill. Kalau tidak dievaluasi, dan sudah jutaan yang masuk, siapa yang bisa atasi?
Untuk itu, Ferry mengaku dirinya mendampingi pimpinan serikat buruh untuk bertemu pimpinan DPR RI. Dikatakan Ferry, DPR telah menyetujui penggunaan Pansus terkait tenaga kerja asing ini. Dengan disaksikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon, mereka dari Fraksi Gerindra, PKS, dan fraksi lain, menandatangani. Pansus akan bergulir.
“Ini adalah langkah politik yang ditempuh serikat buruh. Selain itu, serikat buruh juga melakukan langkah hukum berupa judicial review ke MA terhadap Perpers No. 20/2018,” harapnya.
Jadi, ada langkah politik di DPR, langkah hukum ke MA dan langkah lainnya seperti aksi demo untuk mengingatkan kepada pemerintah, DPR, semua pihak bahwa Perpres 20/20018 adalah persoalan besar. Bukan hanya persoalan buruh, tetapi juga menyangkut generasi muda dan anak-anak ke depan.
Menurut Ferry, Fraksi Gerindra sudah jelas menolak Perpers 20/2018. Dan, Prabowo sendiri sudah menegaskan dirinya menolak Pepres 20/2018. “Ini masalah besar tidak ada hubungannya dengan Pilpres. Kalau salah, ya salah. Kalau tidak dikritisi sekarang akan berlanjut TKA unskill dari China ini. Itu yang tidak diinginkan jadi persoalan ke depannya,” pungkasnya.(Redaksi)