Terkait Masa Pendaftaran Capres-Cawapres,KPU Didesak Perpanjangan,Berikut Alasanya

Foto Kantor Pusat KPU.(kwl/Portalindo.co.id)

Portalindo.co.id, Jakarta – Pengamat politik Said Salahudin tidak habis pikir dengan pernyataan salah seorang Komisioner KPU, yang sebelumnya menyatakan tidak akan memberi kesempatan perpanjangan waktu kepada partai politik dalam mendaftarkan pasangan capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2019.

Menurut Said, pernyataan itu memang kemudian dikoreksi oleh komisioner KPU lain.
Di mana menyebut, perpanjangan masa pendaftaran diatur dalam Peraturan KPU Nomor 22/2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

“Tapi, saya kira ini kurang tepat juga. Karena PKPU ini kan mengatur seputar tata cara, mekanisme dan prosedur pendaftaran capres-cawapres. Bukan mengatur tentang jadwal pendaftaran. Harusnya yang diubah itu PKPU Nomor 5/2018 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilu 2019,” ujar Said di Jakarta, Rabu (8/8).

Menurut Said, dalam PKPU Nomor 5/2018, hanya menyebut jadwal pendaftaran pasangan bakal calon presiden-calon wakil presiden, 4-10 Agustus.Belum diatur terkait jadwal perpanjangan masa pendaftaran jika tak ada pasangan yang mendaftar, atau hanya satu pasangan yang mendaftar.

“Masa perpanjangan pendaftaran capres-cawapres wajib disediakan oleh KPU. Coba bayangkan, jika pada hari terakhir pendaftaran 10 Agustus nanti, belum gabungan parpol yang berhasil mencapai konsensus terkait capres-cawapres yang akan diusung,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini menegaskan, desakan agar KPU mengatur secara jelas jadwal perpanjangan masa pendaftaran, karena Indonesia terancam tidak punya presiden dan wakil presiden, jika karena batasan waktu yang diberikan oleh KPU mengakibatkan tak ada capres yang mendaftar.

“Jika hanya satu pasangan yang mendaftar sampai 10 Agustus, saya kira ini juga bakal menjadi persoalan. Ingat, konstitusi tidak membenarkan pilpres diikuti hanya satu pasangan calon atau paslon tunggal,” katanya.

Said menyebut, justifikasi diperbolehkannya paslon tunggal diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Bukan diatur dalam UUD 1945.
Padahal untuk pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, harus merujuk norma konstitusi. Bukan tunduk pada norma undang-undang.

“Merujuk ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, jumlah peserta pilpres yang dikehendaki oleh konstitusi adalah minimal dua paslon. Karena itu, ketentuan mengenai diperbolehkannya paslon tunggal oleh UU Pemilu, menurut saya perlu untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK),” pungkas Said. (kwl**)

Penulis : Umar Dany

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *