MAKASSAR – Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang mengabulkan gugatan yang diajukan oleh tim kuasa hukum pasangan calon (paslon) wali kota dan wakil wali kota Makassar, Munafri Ariffudin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) dinilai keliru.
Dalam putusannya, PTTUN memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Makassar untuk membatalkan penetapan pasangan calon M Ramdhan ‘Danny’ Pomanto-Indira Mulyasari. Danny Pomanto merupakan calon incumbent wali kota Makassar.
Ketua Indonesia Democracy Watch (IDW), Maruli Tua Silaban menganggap, putusan itu keliru karena peradilan TUN tidak berwenang menangani perkara yang tak ada hubungannya dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Menurutnya, penggugat justru menggugat paslon Ramdhan Pomanto-Indira ke PTTUN karena melaksanakan kebijakan umum pemerintahan daerah kota Makassar yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) yang sesungguhnya diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014-2019.
“Jika semangatnya untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi secara murni, pasangan Ramdhan Pomanto-Indira yang digugat di PTTUN seharusnya tidak perlu muncul,” kata Maruli dalam diskusi ‘Tolak Pemaksaan Lawan Kotak Kosong, Dukung Pilkada Bersih kota Makassar’ di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Selasa (10/4/2018).
Maruli mengatakan, karena melaksanakan kebijakan umum pemerintah kota Makassar seperti RPJMD sebagaimana diatur dalam Perda nomor 5 tahun 2014-2019, maka kebijakan tersebut tak bisa disangkutpautkan dengan kontestasi pilkada.
Terlebih, soal pembatalan paslon hanya bisa dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu melalui sidang ajudikasi. Dia menegaskan, langkah KPU setempat yang melakukan upaya hukum lanjutan berupa pengajuan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dianggap tepat.
Langkah itu bagian dari proses demokrasi yang jujur dan adil. “Jika paslon tersebut dinyatakan gugur dan tidak berhak untuk ikut sebagai paslon atas penerapan hukum peradilan TUN yang keliru akan memunculkan kartel politik dan menjadi preseden buruk dalam sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (Hj. Ria Efendy)