Oleh : Mustika Annan
Editor : Ida BastianĀ
Portalindo.co.id – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam proses legislasi nasional. Dalam berbagai pernyataan resmi, para pemangku kepentingan dari legislatif dan kalangan akademisi menegaskan bahwa penyusunan RUU ini tidak hanya menjadi agenda hukum semata, tetapi juga mencerminkan semangat demokrasi dan keterbukaan yang semakin kuat di tubuh parlemen Indonesia. Transparansi dan partisipasi publik menjadi dua asas utama yang menjiwai proses pembahasan RUU KUHAP, sebagaimana ditegaskan oleh berbagai tokoh seperti Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Menurut Adies bahwa pembahasan RUU KUHAP tidak dilakukan secara tergesa-gesa. DPR, dengan penuh kesadaran mengedepankan prinsip kehati-hatian, mengingat pentingnya sinkronisasi antara RUU KUHAP dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang telah disahkan dan akan berlaku pada 1 Januari 2026. Sinkronisasi ini menjadi krusial mengingat KUHAP merupakan aturan pelaksana dari KUHP dalam proses peradilan pidana, yang menyentuh langsung aspek keadilan substantif dan prosedural di lapangan.
Lebih jauh, Adies menekankan bahwa pembahasan RUU KUHAP melibatkan partisipasi aktif dari berbagai unsur masyarakat. DPR membuka ruang masukan dari akademisi, praktisi hukum, dan elemen masyarakat sipil. Bahkan, kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terus dilakukan meskipun di luar masa sidang, menunjukkan kesungguhan untuk merangkul berbagai perspektif dalam menyusun produk legislasi yang aspiratif. Hal ini sekaligus menjadi penegasan bahwa hukum acara pidana yang akan datang harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila, serta selaras dengan adat dan budaya bangsa Indonesia yang majemuk.
Senada dengan Adies, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan komitmen yang kuat terhadap prinsip keterbukaan dalam pembahasan RUU KUHAP. Ia memastikan bahwa seluruh proses rapat pembahasan akan digelar di Gedung DPR RI dan disiarkan secara langsung melalui TV Parlemen. Dengan langkah ini, publik dari berbagai penjuru tanah air dapat mengakses langsung proses legislasi yang sedang berlangsung, sekaligus memberikan kontrol sosial yang diperlukan dalam penyusunan kebijakan publik.
Tidak hanya itu, Komisi III DPR RI juga berkomitmen menyerap aspirasi masyarakat secara berkelanjutan, baik sebelum maupun setelah rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP. Aspirasi tersebut dikumpulkan melalui berbagai forum diskusi, seminar, serta kegiatan daring seperti webinar yang melibatkan ribuan peserta dari berbagai latar belakang, termasuk akademisi, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, dan kementerian/lembaga negara. Pada 23 Januari 2025, misalnya, Badan Keahlian DPR menyelenggarakan webinar besar yang diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui Zoom dan lebih dari 7.300 peserta via YouTube DPR RI. Ini menjadi cerminan nyata dari semangat partisipatif yang diusung dalam proses penyusunan RUU KUHAP.
Adapun secara substansi, RUU KUHAP dinilai telah mengalami banyak kemajuan dibanding versi sebelumnya yang dirilis tahun 2023. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Sadjijono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Menurutnya, keberadaan KUHAP baru menjadi sangat vital karena berfungsi sebagai dasar operasional dalam implementasi KUHP baru. Ia menilai bahwa pada bagian awal dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, sudah tampak upaya diferensiasi fungsional yang lebih baik antara aparat penegak hukum (APH), yang berguna untuk meminimalkan potensi tumpang tindih kewenangan.
Sebagai pakar hukum, Sadjijono juga menegaskan peran penting komunitas akademik dalam mengawal penyusunan RUU KUHAP ini. Ia menyiapkan serangkaian rekomendasi kepada Komisi III DPR, termasuk evaluasi terhadap beberapa usulan dalam draf RUU seperti keberadaan saksi mahkota. Baginya, rekomendasi ilmiah yang komprehensif sangat dibutuhkan agar saat RUU KUHAP disahkan, ia benar-benar menjadi aturan yang implementatif dan sesuai dengan prinsip keadilan serta hak asasi manusia.
Perjalanan panjang pembahasan RUU KUHAP menunjukkan bahwa sistem legislasi nasional tengah mengalami proses transformasi ke arah yang lebih inklusif dan akuntabel. Ini menjadi momentum penting dalam sejarah pembaruan hukum pidana Indonesia, yang tidak hanya bersifat normatif tetapi juga reflektif terhadap dinamika sosial dan kebutuhan hukum masyarakat yang semakin kompleks. Kehadiran RUU KUHAP diharapkan dapat memperkuat posisi hukum acara pidana sebagai instrumen keadilan yang menjamin kepastian, kebermanfaatan, dan perlindungan terhadap hak individu dalam proses hukum.
Dari seluruh proses ini, publik dapat melihat bahwa pembaruan hukum di Indonesia tidak menjadi domain eksklusif segelintir elit hukum, melainkan terbuka bagi partisipasi aktif seluruh elemen bangsa. Komitmen para legislator, seperti yang ditunjukkan oleh Adies Kadir dan Habiburokhman, dalam membuka ruang dialog dan memperluas transparansi menjadi modal penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, keterlibatan akademisi seperti Prof. Sadjijono memperkuat legitimasi ilmiah dari naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan RUU KUHAP.
Dengan semangat partisipatif dan transparan yang telah ditunjukkan sejauh ini, RUU KUHAP berpotensi menjadi tonggak penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana nasional. Harapannya, saat disahkan nanti, KUHAP baru dapat benar-benar menjadi wujud dari keadilan hukum yang progresif, berakar pada nilai-nilai lokal, dan menjawab tantangan global yang dihadapi sistem hukum Indonesia.
Penulis merupakan pengamat hukum