Kemampuan Indonesia dalam memproduksi furnitur dan kerajinan sudah tersohor di mata dunia karena kualitas bahan baku dan desain produk yang menjadi keunggulan. Untuk itu, dalam upaya menggenjot nilai penjualan dan ekspor, diperlukan juga peningkatan aspek promosi guna memperkenalkan lebih luas produk furnitur dan kerajinan nasional kepada konsumen dosmetik dan global.
“Industri kecil dan menengah (IKM) kita yang memproduksi furnitur dan kerajinan sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi market leader dalam ekspor,” kata Sekjen Kementerian Perindustrian Haris Munandar pada Jogja International Furniture and Craft Fair Indonesia (JIFFINA) 2018 di Yogyakarta, Sabtu (10/3).
Sekjen menegaskan, dalam pengembangan industri nasional, Kemenperin menetapkan industri furnitur dan kerajinan sebagai salah satu sektor yang diprioritaskan. Alasannya, karena mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, berdaya saing global, berorientasi ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, serta didukung dengan ketersediaan sumber bahan baku yang cukup berupa kayu, rotan dan bambu.
Berdasarkan catatan Kemenperin, terdapat 140 ribu unit usaha yang bergerak di sektor industri furnitur dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebanyak 436 ribu orang dan nilai investasi mencapai Rp5,8 triliun pada tahun 2015. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-5 sebagai negara eksportir produk furnitur. “Sedangkan, untuk industri kerajinan, kita memiliki hingga 1,32 juta orang tenaga kerja yang diserap oleh sekitar 696 ribu unit usaha,” ungkap Haris.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), sampai dengan November tahun 2017, nilai ekspor produk furnitur nasional mencapai USD1,25 miliar. Sementara itu, nilai ekspor produk kerajinan tahun 2017 berada di angka USD776 juta, naik 3,8 persen dibanding tahun 2016 sekitar USD747 juta. “Semua potensi tersebut harus didukung dengan program promosi serta upaya penetrasi pasar domestik serta global secara terintegrasi dan kontinyu baik secara online maupun offline,” lanjut Haris.
Guna meningkatkan promosi secara online, Kemenperin telah meluncurkan program e-Smart IKM yang bersinergi dengan beberapa marketplace dalam negeri. Sampai tahun 2017, pelaksanaan program e-Smart IKM melalui kegiatan workshop telah diikuti sebanyak1730 pelaku IKM, dan ditargetkan pada tahun 2019 dapat mencapai 10 ribu IKM yang dapat diakses konsumen melalui marketplace.
“Pemasaran secara offline juga tidak dapat dipandang sebelah mata karena salah satu keuntungannya yang tidak dapat digantikan adalah pembeli dapat melihat secara langsung jenis dan kualitas produk. Selain itu, pembeli juga dapat bertemu langsung dengan pelaku IKM sehingga proses negosiasi lebih mudah dilakukan,” paparnya.
Pada tahun 2018, Direktorat Jenderal IKM berpartisipasi dalam pameran JIFFINA dengan menempati lahan seluas 336 m2 untuk mengajak tampil tiga komunitas atau koperasi di sentra IKM furnitur dan kerajinan dalam negeri, yaitu Komunitas Industri Mebel dan Kerajinan Solo Raya (KIMKAS) dengan membawa delapan IKM sebagai peserta pameran.
Selanjutnya, Koperasi Industri Mebel dan Kerajinan Asal Jepara (KIDJAR) membawa empat IKM, serta Masyarakat Kerajinan dan Mebel Mataram (MAKAREMA) Yogyakarta membawa tujuh IKM. “Pengembangan berbasis kelompok ini akan menjadi wadah bagi para pelaku industri mebel dan kerajinan untuk saling bertukar informasi mengenai bahan baku, desain, teknologi, pasar dan kebijakan-kebijakan pemerintah,” jelasnya.
Haris menambahkan, berpartisipasi pada ajang JIFFINA 2018, merupakan salah satu langkah nyata dari Ditjen IKM untuk mempromosikan produk IKM furnitur dan kerajinan Indonesia khususnya daerah Jawa-Bali dengan mengusung konsep 3N in 1, yaitu New Product, New Design dan New Market.
Bahkan, dalam upaya melindungi kreativitas para perajin IKM Indonesia, Ditjen IKM memberikan fasilitasi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk desain baru produk-produk furnitur dan kerajinan, khususnya bagi IKM yang akan berpartisipasi pada berbagai pameran untuk mencegah plagiarisme. “Selain itu, Ditjen IKM juga memberikan fasilitasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi IKM untuk mendorong peningkatan ekspor produk industri kehutanan,” imbuhnya.
IKM Berkinerja gemilang
Pada kesempatan berbeda, Dirjen IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih mengungkapkan, beberapa IKM nasional mampu menunjukkan kinerja yang gemilang. Hal ini tidak terlepas dari komitmen dan upaya pemerintah memacu pengembangan IKM karena sebagai sektor mayoritas dari populasi industri di Tanah Air dan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional.
“Misalnya, kami mencatat, nilai ekspor komoditas perhiasan pada tahun 2017 mencapai USD2,6 miliar. Selain itu, nilai ekspor IKM sektor batik juga menunjukkan angka yang positif sebesar USD58 juta pada tahun 2017,” ungkapnya.
Sebagai market leader, Indonesia telah menguasai pasar batik dunia sekaligus menjadi penggerak perekonomian di regional dan nasional. Sampai saat ini, industri batik didominasi oleh sektor IKM yang tersebar di 101 sentra di Jawa Tengah, Jawa Barat, JawaTimur, dan Yogyakarta dengan tujuan utama pasar ekspor ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
“Kerajinan Indonesia memiliki pasar yang terus meningkat, sehingga dapat dikatakan bahwa para penggiat IKM kerajinan termasuk IKM batik dan IKM perhiasan menjadi salah satu tombak ekonomi kerakyatan yang tahan terhadap krisis ekonomi global,” papar Gati.
Untuk itu, lanjutnya, Kemenperin terus berupaya mendongkrak produktivitas dan daya saing IKM nasional melalui berbagai program strategis, antara lain peningkatan kompetensi tenaga kerja, pengembangan kualitas produk, standardisasi, fasilitasi mesin dan peralatan produksi, serta mengikuti promosi dan pameran di dalam dan luar negeri.
Gati menyampaikan, pihaknya melalui Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) yang berada di bawah binaan Ditjen IKM, sedang berupaya untuk meningkatkan kinerja sektor IKM alas kaki. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menyelenggarakan Indonesian Footwear Creative Competition (IFCC) dengan mengusung konsep 3in1, yaitu melalui kompetisi desain, fotografi, dan videografi.
“Penyelenggaraan IFCC ini bertujuan untuk mendekatkan generasi muda pada industri alas kaki yang juga merupakan bagian dari perkembangan fesyen, serta menjadi rencana bisnis yang menjanjikan ke depannya, sehingga akan tumbuh pelaku industri kreatif sektor alas kaki,” paparnya.
Kemenperin mencatat, kontribusi industri alas kaki dalam negeri semakin meroket dengan menyumbang PDB sebesar Rp26,5 triliun pada tahun 2017, dengan pertumbuhan sebesar 2,4 persen. Tak hanya itu, kinerja ekspor industri alas kaki mampu menembus angka hingga USD4,9 miliar tahun 2017. Sedangkan, dengan produksinya mencapai 1,1 miliar pasang, menempatkan Indonesia sebagai produsen alas kaki terbesar keempat dunia setelah China, India dan Vietnam. (Guntur/Kemenperin RI)