PORTALINDO.CO.ID, JAKARTA – Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2019 sekaligus puteri Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Saras Shintya Putri (Chaca), menjadi moderator Webinar Nasional ‘Arah Kebijakan Lembaga Pengawas Industri Jasa Keuangan: Evaluasi dan Rekonstruksi’. Dihadiri para tokoh nasional, antara lain Keynote Speaker oleh Prof. Jimly Asshidduqie (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Anggota DPD RI 2019-2014, serta Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008), serta Mirza Adityaswara (Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2014-2019, yang saat ini juga sedang menjadi Calon Komisioner Otoritas Jasa Keuangan/OJK 2022-2027).
Memantik jalannya diskusi, Chaca menekankan, pemahaman mendalam terhadap arah kebijakan lembaga pengawas industri jasa keuangan sangat krusial. Mengingat masih munculnya berbagai permasalahan di sekitar industri jasa keuangan. Seperti pinjaman online ilegal, investasi bodong, robot trading ilegal, serta skema penipuan tidak berizin lainnya yang merugikan masyarakat. Sebagai gambaran, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan kerugian yang dialami masyarakat akibat investasi ilegal pada periode 2011 hingga 2021 mencapai Rp 117,4 triliun, dengan jumlah korban mencapai jutaan orang.
“Perkembangan ekonomi digital dan digitalisasi sektor keuangan yang pertumbuhannya semakin pesat, juga menjadi tantangan besar yang harus dihadapi OJK. Asosiasi Fintech Indonesia melaporkan hingga saat ini sudah ada lebih dari 20 jenis layanan keuangan digital yang ditawarkan oleh sekitar 355 fintech. Google dalam laporan East Ventures Digital Competitiveness Index 2021 memproyeksikan pada tahun 2025, kontribusi ekonomi digital pada perekonomian Indonesia mencapai 124 miliar dollar AS. Besarnya potensi ekonomi digital tersebut membawa tantangan besar yang harus dijawab OJK. Misalnya terhadap persoalan fraud terkait fintech P2P Lending, asuransi dan investasi, yang harus dapat dicegah dan diminimalisir oleh OJK,” ujar Chaca usai memoderatori Webinar Nasional Arah Kebijakan Lembaga Pengawas Industri Jasa Keuangan, di Jakarta, Jumat (1/4/22).
Turut hadir menjadi narasumber lainnya, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Pakar Hukum Asuransi Kornelius Simanjuntak, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Pakar Hukum Keuangan Publik Dian Nugraha Simatupang, Dosen UGM sekaligus Pakar Ekonomi Bidang Corporate Finance and Risk Management Eddy Junarsin, serta Pakar Hukum Fintech dan Keuangan Digital sekaligus Direktur Hukum Finpedia dan Komisaris Digiscore Chandra Kusuma.
Chaca menjelaskan, dalam Webinar tersebut Prof. Jimly Asshidduqie memaparkan bahwa OJK lahir dari semangat reformasi untuk menghadirkan sistem pengaturan dan pengawasan pada kegiatan jasa keuangan. Sehingga keberadaannya independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. OJK mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang dalam pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
“Sementara Pak Mirza Adityaswara menuturkan, OJK harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK perlu melakukan transformasi dan soliditas sekaligus tekad bersama dari komisioner dan organisasi didalam OJK, maupun dengan stakeholders lainnya seperti DPR RI. Pak Mirza Adityaswara juga memaparkan perkembangan industri Fintech P2P Lending, yang hingga Triwulan III-2021 jumlah penyelenggara terdaftarnya mencapai 107, dengan aset mencapai Rp 4,47 triliun. Jumlah pemberi pinjaman ke masyarakat mencapai 772.534 kreditur, dengan jumlah penerima kredit mencapai 70.286.048 jiwa. Jumlah pinjaman yang tersalurkan ke masyarakat hingga triwulan III-2021 sudah mencapai Rp 262,93 triliun,” jelas Chaca.
Chaca menerangkan, dalam Webinar tersebut, Mukhamad Misbakhun menilai kinerja pengawasan dan perlindungan konsumen yang dilakukan OJK sejauh ini masih belum optimal. Terlihat dari ketidakmampuan OJK menghentikan praktik investasi bodong, pinjaman online ilegal, hingga robot trading ilegal. Banyaknya produk jasa keuangan yang ada saat ini juga belum diimbangi dengan tingginya literasi di kalangan masyarakat, sehingga berisiko memunculkan benturan yang merugikan investor. Selain itu, perizinan di sektor keuangan Indonesia masih memungkinkan para pengusaha melakukan konglomerasi di sektor keuangan. Sebab banyak perusahaan saat ini bisa mendapatkan IPO, serta mendirikan beberapa perusahaan lainnya yang terintegrasi atus sama lain.
“Pak Mukhamad Misbakhun juga mendorong agar OJK sebagai regulator keuangan nasional harus dapat melaksanakan tugas dan mengimplementasikan ketentuan dengan baik, serta menjalankan fungsi kelembagaan secara profesional. Mengingat industri jasa keuangan nasional memiliki potensi besar. Setidaknya aset yang dimiliki Indonesia sudah mencapai Rp 17 ribu triliun. Bahkan jika tidak terjadi pandemi Covid-19, jumlahnya diperkirakan melebihi Rp 20 ribu triliun,” pungkas Chaca. (*)