Kemendagri Dorong Persoalan Pertanahan Jadi Prioritas Penanganan oleh Pemda dan Pemerintah Pusat

PORTALINDO.CO.ID, Jakarta – Persoalan konflik pertanahan kerap menjadi penghambat jalannya pembangunan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendorong pemerintah daerah (Pemda) bersama-sama dengan pemerintah pusat menjadi bagian dari solusi dan memprioritaskan penanganan yang baik atas konflik pertanahan untuk mempercepat pembangunan nasional.

“Peningkatan jumlah kasus pertanahan menjadi perhatian penting untuk dicarikan solusinya. Apabila tidak ditangani secara optimal, berpotensi pada terhambatnya program-program pembangunan yang sedang berjalan,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Safrizal ZA dalam sambutannya pada Rapat Koordinasi (Rakor) Penyusunan dan Pelaksanaan Kesepahaman Kemendagri dan Pemerintah Daerah dalam Penanganan Masalah dan Konflik Pertanahan di Daerah, di El Hotel, Jakarta, (2/10/2023).

Dijelaskan Safrizal, sengketa dan konflik pertanahan di daerah disebabkan persoalan administrasi sertifikasi tanah yang kurang tertib, ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Selain itu persoalan lainnya yakni belum sinkronnya peta-peta dasar yang digunakan dalam proses penyelesaian permasalahan seperti peta batas tanah dengan batas wilayah pemerintahan yaitu desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan adat.

“Sengketa atau konflik pertanahan antara pemerintah dengan warga dapat terjadi apabila kondisi-kondisi tertentu tidak dipenuhi. Salah satu penyebabnya tidak dikelolanya barang milik daerah berupa tanah dengan baik. Kondisi ini diperburuk dengan kurang telitinya tata kelola dokumen riwayat perolehan bidang tanah yang dimiliki ataupun dikuasai oleh Pemda, sementara tanah tersebut telah dimasukkan dalam dokumen barang milik daerah,” beber Safrizal.

Kemendagri, ditekankan Safrizal, senantiasa berkomitmen membantu penanganan terhadap sengketa tanah. Tahun 2022 Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Adwil mengadakan pemetaan sengketa dan konflik pertanahan di Jawa Barat. Langkah ini sebagai dukungan membangun basis data dari Pemda berdasarkan kasus pertanahan yang ada di daerah dengan hasil data pemetaan sengketa dan konflik pertanahan di daerah. Di samping itu, upaya ini juga sebagai penyempurnaan data dan informasi bagi modal dasar penanganan permasalahan tanah di daerah.

Berdasarkan hasil pemetaan sengketa dan konflik pertanahan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Rapat Evaluasi Pemetaan Konflik Pertanahan dalam rangka Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan di Daerah yang diselenggarakan pada April 2022, disimpulkan bahwa permasalahan aset daerah merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan prioritas penanganan baik oleh pemerintah pusat maupun Pemda.

“Berdasarkan kasus yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Bina Adwil pada tahun 2022, 22 persen dari 227 kasus (sekitar 50 kasus) merupakan permasalahan aset daerah,” papar Safrizal.

Kasus ini, sambung dia, sebagian besar disebabkan oleh tidak tertibnya administrasi pertanahan, seperti warkah/riwayat tanah sengketa yang tidak terdokumentasi dengan baik dan lengkap. Selain itu, faktor lainnya yaitu belum tercatatnya aset tersebut ke dalam sistem pencatatan atau pendokumentasian aset daerah, sehingga Pemda sering kali mengalami kekalahan apabila permasalahan tersebut berlanjut ke dalam ranah perkara pengadilan.

Konflik pertanahan lainnya yang cukup banyak dilaporkan adalah terkait dengan permasalahan tanah ulayat yaitu sebanyak 16 persen atau sekitar 36 kasus.

Salah satu hal yang menjadi pemicu munculnya konflik tanah ulayat adalah belum terdata dan teregistrasinya tanah ulayat tersebut. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat hukum adat yang belum teridentifikasi dan belum melalui proses penetapan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Dalam hal ini, Safrizal menilai perlu adanya sinergisitas peranan Pemda dan Kemendagri dalam melakukan tata kelola terhadap masyarakat hukum adat yang merupakan mitigasi terhadap munculnya konflik tanah ulayat di daerah.

Hal lain yang menjadi penyebab sengketa dan konflik pertanahan adalah lambatnya pelaksanaan program pendaftaran tanah. Implikasi dari hal tersebut menyebabkan tanah menjadi idle (status quo), sehingga tidak bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat maupun pembangunan.

“Kondisi yang digambarkan di atas berdampak bagi kedua belah pihak baik pemerintah daerah maupun masyarakat. Di satu sisi masyarakat tidak mendapatkan layanan terkait legalitas tanah yang telah dikuasainya, dan di sisi lain, pemerintah tidak dapat memaksimalkan pengelolaan kekayaan daerah untuk mendapatkan perolehan pendapatan asli daerah guna membiayai urusan pemerintahan lainnya,” ujarnya.

Karena itu, Safrizal berharap, pelaksanaan kegiatan Rakor ini menjadi sarana untuk mendapatkan masukan mengenai perumusan penyusunan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama antara Kemendagri dengan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan penanganan masalah dan konflik pertanahan di daerah.***